Rabu, 22 Juli 2009

TUHAN MENGUMPUKAN KELUARGAKU

(by: Yohana Ratmini Silas – BEKASI)

Nyaris aku tak percaya, suamiku di –PHK. Padahal posisinya sudah cukup bagus di salah satu perusahaan farmasi di Solo. Kudengar suara suamiku di telepon nampak cemas, namun aku berusaha setenang mungkin walau hatikupun sangat galau. Kubesarkan hati untuk menerima kenyataan bahwa suamiku di-PHK. Setelah kututup gagang telepon, akupun langsung masuk ke kamar, berlutut, menangis dalam doa. Rasanya sedikit lega dapat mengeluarkan kesesakan di hati. Kulihat anakku yang kedua yang berumur 8 bulan sedang tertidur pulas. Sedangkan anakku yang pertama (7 tahun) sedang bermain ke rumah tetangga. Terbayang hari-hari yang berat menghampiri rumah tangga kami. Aku mengambil bagian dalam masalah ini. Selama ini aku lalai berdoa untuk suamiku, untuk pekerjaannya. Sejak si kecil lahir rasanya waktuku tersita untuk mengurusnya. Meskipun demikian hal itu tidak membenarkan kelalaianku, dan aku menyesal.

Satu minggu setelah di-PHK, suamiku banyak melamun. Aku tak tega melihatnya. Yang kutahu selama ini suamiku bekerja lurus-lurus saja. Nampaknya ada persekongkolan beberapa pihak yang tidak menyukai suamiku dengan jebakan yang jitu sehingga suamiku benar-benar di-PHK secara sepihak. Namun aku percaya bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Lalu aku mencoba menelpon saudaraku yang di Jakarta dan menanyakan apakah ada pekerjaan untuk suamiku. Ternyata ada. Tanggal 30 Agustus 2003 suamiku berangkat ke Jakarta.

Suamiku adalah type suami rumahan. Kalau pulang dari bekerja, ya langsung pulang. Kalaupun pergi selalu mengajak kami bersama. Jadi ketika dia bekerja di Jakarta aku merasa suasana sangat sepi. Jam 8 atau 9 malam, aku benar-benar merasa kehilangan. Anakku yang pertama selalu mengeluh, “Nggak enak nggak ada bapak, ruamh sepi”, katanya. Nilai-nilai di sekolahnya pun mulai menurun. Sementara anakku kedua sering sakit-sakitan. Minim dua kali dalam sebulan selalu ke dokter. Keadaan ini benar-benar tidak nyaman bagi kami.

Hari demi hari kurasakan sangat panjang dan melelahkan. Tiap hari kulingkari kalender mengharap suamiku segera pualng walau hanya dua tiga hari. Aku menjadi sensitive dan emosional. Jika mendengar suami sakit, aku menangis walaupun hanya sakit flu. Jujur saja aku merasa hidup bahagia setelah hidup berumah tangga. Sejak kecil (3 tahun) ibuku meninggal lalu aku ikut kakek nenek. Setelah umur 8 tahun aku mengembara dari kakak yang satu ke kakak yang lain. Aku anak bungsu dari sebelas bersaudara. Puji Tuhan, setelah menikah suamiku sangat baik; menyayangi serta menerimaku aku apa adanya. Karenanya ketika kami hidup terpisah, aku sangat tersiksa. Keadaan itu oun tidak baik untuk pertumbuhan kedua buah hati kami.

Aku memohon Tuhan mengumpulkan kami kembali. Jika Tuhan menghendaki kami berkumpul di Jakarta, aku memohon peneguhan demi peneguhan. Banyak dari keluarga besarku tidak setuju jika aku dan kedua anakku menyusul ke Jakarta, meingat gaji suamiku yang sangat minim sementara biaya hidup di Jakarta sangat tinggi.tetapi aku menguatkan imanku pada Tuhan.

Puji Tuhan. Dia tidak mengecawakan orang-orang yang berharap pada-Nya. Tuhan memberikan peneguhan dengan terjualnya semua barang di dalam rumah serta adanya seorang yang mau mengontrak rumah kami. Tanggal 9 January 2004, aku bersama kedua anakku menyusul ke Jakarta. Kami menempati suatu rumah yang nyaman dan lingkungan yang aman serta komunitas yang mendukung pertumbuhan iman kami. Luar biasa. Semua di luar akal kami.

Pekerjaan suamiku semakin hari semakin membaik. Taraf hidup kami meningkat jauh melebihi ketika di Solo. Semua hanya karena anugerah Tuhan. Kami pun selalu mengadakan mezbah doa keluarga, karena kami tahu hanya Tuhan yang dapat menjadi tempat perlindungan kami. Terima kasih Tuhan, Engkau mengumpulkan keluarga kami kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar