Dalam catatan tentang masa muda Hudsin Taylor, ada sebuah kisah tentang bagaimana ia menjadi jawaban atas salah satu doanya sendiri. Berikut ini adalah kisahnya dalam kata-kata Hudson Taylor:
Setelah menutup kebaktian terakhir saya sekitar pukul sepuluh malam itu, seorang pria malang meminta saya untuk ikut dengannya dan berdoa untuk istrinya, berkata bahwa istrinya sedang sekarat, saya langsung bersedia, dan dalam perjalanan ke rumahnya saya bertanya kepadanya mengapa dia tidak meminta imam untuk datang, karena dari aksennya saya tahu bahwa ia orang irlandia. Dia sudah melakukannya, katanya, tetapi imam tidak mau datang tanpa bayaran delapan belas pence, yang tidak dimiliki orang itu, karena keluarganya kelaparan.
Segera terbesit dalam benak saya bahwa uang yang saya miliki hanyalah setengah crown, dan bahwa, itu hanya berupa satu koin; terlebih lagi, bahwa walaupun baskom bubur gandum yang biasanya saya ambil untuk makan malam tengah menanti saya, dan ada cukup makanan di rumah untuk sarapan esok pagi, saya benar-benar tidak punya apa-apa untuk makan malam besok.
Entah bagaimana dalam waktu seketika aliran sukacita dalam hati saya terhenti. Akan tetapi, saya tidak menegur diri saya sendiri, saya mulai menegur pria
“Ah”, pikir saya, “kalau saja aku punya dua koin satu shilling dan satu koin enam pence dan bukannya setengah crown ini, aku dengan senang hati akan memberikan satu shilling kepada orang
Penunjuk jalan saya menuntun saya ke dalam sebuah halaman, ke mana saya mengikuti dia dengan sedikit gugup. Saya pernah berada di
“Ah”, pikir saya, “seandainya aku punya dua koin satu shilling dan satu koin enam pence, bukannya koin setengah crown, betapa senangnya mereka kalau meneriman satu shilling dan enam pence dari itu”. Namun, tetap saja suatu kepercayaan yang menyedihkan mencegah saya menaati dorongan untuk mengurangi penderitaan mereka dengan memberikan semua yang saya miliki.
Akan terasa hampir tidak aneh bahwa saya tidak mampu berbicara banyak untuk menghibur orang-orang
Saya hampir tercekik. Betapa saya dengan senang hati akan berkompromi dengan hati nurani saya, seandainya saya punya satu koin dua hiling dan satu koin enam pence! Saya akan memberikan dua shilling itu dengan penuh rasa syukur dan menyimpan selebihnya. Namun, saya belum siap untuk percaya hanya kepada Tuhan, tanpa enam pence itu.
Mustahil untuk berbicara dalam keadaan ini, tetapi aneh untuk mengatakan bahwa saya pikir saya seharusnya tidak mengalami kesulitan untuk berdoa. Berdoa merupakan pekerjaan yang menyenangkan pada hari-hari itu. Waktu dengan demikian rasanya dihabiskan tanpa terasa melelahkan, dan saya tidak pernah kehabisan kata. Saya sepertinya berpikir bahwa yang seharusnya saya lakukan hanyalah berlutut dan berdoa, dan bahwa kelegaan akan datang bagi mereka dan bagi diri saya juga.
“Anda meminta saya untuk datang dan berdoa dengan istri Anda”, kata saya kepad pria itu, “marilah kita berdoa”. Lalu saya berlutut.
Namun, belum sempat saya membuka bibir dengan “baoa kami yang disorga” hati nurani saya berkata dalam batin saya, “Engkau berani mengolok-olok Tuhan? Engkau berani berlutut dan memanggil Dia Bapa dengan setengah crown itu di sakumu?”
Konflik yang saya alami saat itu tidak pernah saya alami sebelumnya maupun sesudahnya. Bagaimana saya melewati bentuk doa seperti itu saya tidak tahu, dan apakah kata-kata yang saya ucapkan berkaitan atau tidak saya tidak tahu. Akan tetapi, saya berdiri dari berlutut dengan pikiran yang sangat tertekan.
Ayang yang
Pada saat itu sabda-Nya berkiloat dalam benak saya, “Berikan kepadanya apa yang diminta darimu”. Dalam sabda seroang raja terdapat kuasa.
Saya memasukkan tangan saya ke dalam saku saya, dan perlahan mengeluarkan setengah crown itu, memberikannya kepada orang tersebut, berkata kepadanya bahwa walau tampaknya merupakan masalah kecil bagi saya untuk menolong mereka, karena kelihatannya keadaan saya sangat baik bila dibandingkan dengan mereka, tetapi dengan memberikan koin itu saya memberi dia segala-galanya yang saya miliki; apa yang saya katakana kepada mereka memang benar- Tuhan adalah benar-benar seorang Bapa dan dapat dipercaya. Sukacita kembali datang dalam gelombang pasang yang penuh ke dalam hati saya. Saya dapat mengatakan apa saja dan merasakannya saat itu, dan rintangan bagi berkat telah lenyap-lenyap, saya percaya, untuk selama-lamanya.
Bukan saja nyawa wanita
Saya akan ingat terus, betapa malam itu, sewaktu saya pulang ke pondokan saya, hati saya seringan saku saya. Jalan-jalan yang gelap dan sepi bergema dengan kidung pujian yang tidak dapat saya tahan. Ketika saya mengambil baskom bubur gandum saya sebelum tidur, saya tidak akan menukarnya untuk jamuan seorang pangeran. Saya mengingatkan Tuhan ketika saya berlutut di samping tempat tidur saya akan Firman-Nya sendiri, “Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi Tuhan”; saya meminta Dia untuk tidak membiarkan piutang saya menjadi piutang jangka panjang, atau saya tidak akan punya apa-apa untuk makan malam besok. Dengan damai sejahtera di dalam maupun di luar, saya tidur nyenyak dan bahagia malam itu.
JAMES HASTING, ED., THE SPEAKER’S BIBLE, VOL17 (
Tidak ada komentar:
Posting Komentar