Rabu, 26 Agustus 2009

JAWABAN ATAS DOA ANDA SENDIRI


Dalam catatan tentang masa muda Hudsin Taylor, ada sebuah kisah tentang bagaimana ia menjadi jawaban atas salah satu doanya sendiri. Berikut ini adalah kisahnya dalam kata-kata Hudson Taylor:

Setelah menutup kebaktian terakhir saya sekitar pukul sepuluh malam itu, seorang pria malang meminta saya untuk ikut dengannya dan berdoa untuk istrinya, berkata bahwa istrinya sedang sekarat, saya langsung bersedia, dan dalam perjalanan ke rumahnya saya bertanya kepadanya mengapa dia tidak meminta imam untuk datang, karena dari aksennya saya tahu bahwa ia orang irlandia. Dia sudah melakukannya, katanya, tetapi imam tidak mau datang tanpa bayaran delapan belas pence, yang tidak dimiliki orang itu, karena keluarganya kelaparan.

Segera terbesit dalam benak saya bahwa uang yang saya miliki hanyalah setengah crown, dan bahwa, itu hanya berupa satu koin; terlebih lagi, bahwa walaupun baskom bubur gandum yang biasanya saya ambil untuk makan malam tengah menanti saya, dan ada cukup makanan di rumah untuk sarapan esok pagi, saya benar-benar tidak punya apa-apa untuk makan malam besok.

Entah bagaimana dalam waktu seketika aliran sukacita dalam hati saya terhenti. Akan tetapi, saya tidak menegur diri saya sendiri, saya mulai menegur pria malang itu, berkata kepadanya bahwa sangat salah membiarkan keadaan menjadi parah seperti yang dia gambarkan. Dia seharusnya memberitahu petugas social. Jawabannya adalah bahwa dia telah berbuat demikian, dan disuruh untuk datang pukul sebelas keesokan paginya, tetapi dia takut istrinya mungkin tidak dapat tahan melewati malam itu:

“Ah”, pikir saya, “kalau saja aku punya dua koin satu shilling dan satu koin enam pence dan bukannya setengah crown ini, aku dengan senang hati akan memberikan satu shilling kepada orang malang ini”. Namun, berpisah dengan setengah crown itu jauh dari pikiran saya. Saya sedikit berkhayal bahwa kebenaran masalahnya hanyalah bahwa saya dapat percaya kepada Tuhan ditambah satu shilling dan enam pence, tetapi saya tidak siap untuk hanya percaya kepada-Nya, tanpa uang sekali ada dalam saku saya.

Penunjuk jalan saya menuntun saya ke dalam sebuah halaman, ke mana saya mengikuti dia dengan sedikit gugup. Saya pernah berada di sana sebelumnya, dan terakhir kali saya berkunjung ke sana saya diperlakukan dengan kasar, catatan-catatan kecil saya dirobek-robek sampai hancur, dan peringatan kepada saya untuk tidak datang lagi itulah yang membuat saya merasa lebih dari sedikit cemas. Bagaimanapun juga, itu adalah jalan tugas, dan saya terus menempuhnya, Dia membawa saya menaiki serangkaian anak tangga yang sangat buruk ke dalam sebuah kamar yang sangat menyedihkan; dan oh, betapa memilukannya pemandangan yang ada di sana! Ada empat atau lima anak berdiri, pipi serta pelipis mereka yang cekung jelas-jelas menceritakan kisah tentang kelaparan perlahan-lahan, dan berbaring di sebuah papan kayu adalah si ibu yang malang dan kehabisan tenaga, bersama seorang bayi mungil berumur tiga puluh enam jam yang lebih cenderung merintih daripada menangis di sisinya, karena bayi itu juga kelihatan lemah dan tidak punya tenaga,

“Ah”, pikir saya, “seandainya aku punya dua koin satu shilling dan satu koin enam pence, bukannya koin setengah crown, betapa senangnya mereka kalau meneriman satu shilling dan enam pence dari itu”. Namun, tetap saja suatu kepercayaan yang menyedihkan mencegah saya menaati dorongan untuk mengurangi penderitaan mereka dengan memberikan semua yang saya miliki.

Akan terasa hampir tidak aneh bahwa saya tidak mampu berbicara banyak untuk menghibur orang-orang malang ini. Saya perlu menghibur diri saya sendiri. Saya mulai berkata kepada mereka, bagaimanapun juga, mereka tidak boleh putus asa; bahwa walaupun mereka sangat menderita ada seorang Bapa yang baik dan mengasihi di sorga, Namun, suatu di dalam diri saya berseru, “Engkau munafik! Bercerita kepada orang-orang yang belum bertobat ini tentang seorang Bapa yang baik mengasihi di sorga, tetapi tidak menyerahkan dirimu sendiri untuk percaya kepada-Nya tanpa setengah crown”.

Saya hampir tercekik. Betapa saya dengan senang hati akan berkompromi dengan hati nurani saya, seandainya saya punya satu koin dua hiling dan satu koin enam pence! Saya akan memberikan dua shilling itu dengan penuh rasa syukur dan menyimpan selebihnya. Namun, saya belum siap untuk percaya hanya kepada Tuhan, tanpa enam pence itu.

Mustahil untuk berbicara dalam keadaan ini, tetapi aneh untuk mengatakan bahwa saya pikir saya seharusnya tidak mengalami kesulitan untuk berdoa. Berdoa merupakan pekerjaan yang menyenangkan pada hari-hari itu. Waktu dengan demikian rasanya dihabiskan tanpa terasa melelahkan, dan saya tidak pernah kehabisan kata. Saya sepertinya berpikir bahwa yang seharusnya saya lakukan hanyalah berlutut dan berdoa, dan bahwa kelegaan akan datang bagi mereka dan bagi diri saya juga.

“Anda meminta saya untuk datang dan berdoa dengan istri Anda”, kata saya kepad pria itu, “marilah kita berdoa”. Lalu saya berlutut.

Namun, belum sempat saya membuka bibir dengan “baoa kami yang disorga” hati nurani saya berkata dalam batin saya, “Engkau berani mengolok-olok Tuhan? Engkau berani berlutut dan memanggil Dia Bapa dengan setengah crown itu di sakumu?”

Konflik yang saya alami saat itu tidak pernah saya alami sebelumnya maupun sesudahnya. Bagaimana saya melewati bentuk doa seperti itu saya tidak tahu, dan apakah kata-kata yang saya ucapkan berkaitan atau tidak saya tidak tahu. Akan tetapi, saya berdiri dari berlutut dengan pikiran yang sangat tertekan.

Ayang yang malang itu berpaling kepada saya dan berkata, “Anda lihat betapa menyedihkannya keadaan kami, Pak. Kalau Anda bisa menolong kami, demi Tuhan, lakukanlah!”

Pada saat itu sabda-Nya berkiloat dalam benak saya, “Berikan kepadanya apa yang diminta darimu”. Dalam sabda seroang raja terdapat kuasa.

Saya memasukkan tangan saya ke dalam saku saya, dan perlahan mengeluarkan setengah crown itu, memberikannya kepada orang tersebut, berkata kepadanya bahwa walau tampaknya merupakan masalah kecil bagi saya untuk menolong mereka, karena kelihatannya keadaan saya sangat baik bila dibandingkan dengan mereka, tetapi dengan memberikan koin itu saya memberi dia segala-galanya yang saya miliki; apa yang saya katakana kepada mereka memang benar- Tuhan adalah benar-benar seorang Bapa dan dapat dipercaya. Sukacita kembali datang dalam gelombang pasang yang penuh ke dalam hati saya. Saya dapat mengatakan apa saja dan merasakannya saat itu, dan rintangan bagi berkat telah lenyap-lenyap, saya percaya, untuk selama-lamanya.

Bukan saja nyawa wanita malang itu selamat; tetapi juga nyawa saya, kehidupan saya, saat saya menyadari sepenuhnya, diselamatkan juga. Kehidupan saya akan hancur-bisa saja, barangkali, sebagai kehidupan Kristen-seandainya kasih karunia pada saat itu tidak menaklukkan, dan upaya keras Roh Tuhan tidak ditaati.

Saya akan ingat terus, betapa malam itu, sewaktu saya pulang ke pondokan saya, hati saya seringan saku saya. Jalan-jalan yang gelap dan sepi bergema dengan kidung pujian yang tidak dapat saya tahan. Ketika saya mengambil baskom bubur gandum saya sebelum tidur, saya tidak akan menukarnya untuk jamuan seorang pangeran. Saya mengingatkan Tuhan ketika saya berlutut di samping tempat tidur saya akan Firman-Nya sendiri, “Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi Tuhan”; saya meminta Dia untuk tidak membiarkan piutang saya menjadi piutang jangka panjang, atau saya tidak akan punya apa-apa untuk makan malam besok. Dengan damai sejahtera di dalam maupun di luar, saya tidur nyenyak dan bahagia malam itu.

JAMES HASTING, ED., THE SPEAKER’S BIBLE, VOL17 (GRAND RAPIDS MICH.: BAKER, 1971), 212-214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar