Rabu, 26 Agustus 2009

JEAN-JACQUES ROUSSEAU


Jean-Jacques Rousseau (baca: siang siak ruso) sungguh terperanjat. Ibu yang membuka pintu ternyata begitu muda, cantik anggun. Semula ia mengira bahwa Madame de Warens adalah seorang nenek. Rousseau direkomendasikan oleh pendetanya untuk tinggal di rumah Madame de Warens, seorang janda bergelar bangsawan berusia 28 tahun. Rousseau sendiri adalah pemuda perantau berusia 16 tahun yang serba gagal.

Dengan hati dag-dig-dug Rousseau memasuki babak hidupnya di rumah ibu bangsawan ini. Ia belum tahu bahwa selama belasan tahun kemudian ternyata Madame de Warens ini bukan akan menjadi pendidiknya, melainkan juga kekasihnya.

Jalan hidup Rousseau memang aneh. Tidak ada yang menyangka bahwa pemuda penyendiri ini kelak menjadi filsuf pendidikan Agama Kristen (termasuk juga ilmu pendidikan umum) dan filsuf poltik yang teorinya diakui di seluruh dunia sepanjang sejarah.

Rousseuau lahir pada tahun 1712 di jenewa. Seminggu kemudian ibunya meniggal dunia. Nyawa Rousseau ditolong oleh tantenya. Akibat kematian ini rousseau ditolong oleh tantenya. Akibat kematian ini Rousseau sering dihantui rasa bersalah dan kecenderungan ingin mati. Ia menulis: “Seharusnya aku dibiarkan mati. Tante melakukan kesalahan besar. Tetapi, aku mengampuni Tante. Sekarang aku malah merasa sedih, sebab aku ingin berterima kasih kepada Tante, namun tidak mampu”.

Mungkin karena kehausan cinta masa kecil, Rousseau mempunyai kebutuhan cinta dari Madame de Warens. Dalam pelukan Madame de Warens. Dalam pelukan Madame de Warens, ia membayangkan kehangatan cinta ibunya. Rousseau merasa nikmat tetapi juga bingung. Ia menulis. “Aku mengagumi dia sehingga aku sluit berahi akan dia. Pihak dia pun menyayangi aku dengan begitu tulus”. Berbahagialah perasaan itu dan perbedaan usia dua belas tahun menyebabkan mereka tetap menyapa “Mama” dan “Nak” satu sama lain, walaupun mereka hidup bersama seperti suami dan istri.

Kemudian pada usia 30 tahun lebih, Rousseau kembali menjadi pengembara miskin. Kelak ia menikah dengan Therese, seorang pembantu berusia 20 tahun. Therese inilah yang selanjutnya mendampingi Rousseau sepanjang jalan hidupnya yang serba miskin.

Rousseau mulai dikenal sebagai pemikir ketika pada usia 38 tahun karangannya terpilih sebagai yang terbaik di seluruh perancis. Ia menulis puluhan buku yang cepat menyebar di Eropa dan Amerika. Yang paling mengejutkan zamannya adalah buku yang ditulisnya ketika ia berusaha 50 tahun. Buku itu berbentuk novel dengan judul Emile. Di sini tampak kecakapan Rousseau, yaitu membungkus prinsip-prinsip ilmu teologi/ pedagogi dan ilmu politik dalam bentuk cerita.

Ada dua dalil utama yang terkandung dalam semua buku Rousseau. Pertama: tiap orang dilahirkan setara atau egaliter. Tiap orang “diingatkan dan diindahkan” Tuhan (lih. Mzm 8:%). Masyarakatlah yang merusak persamaan ini sehingga akibatnya ada orang yang kebal hukum padahal orang lain harus tunduk pada hukum. Sebab itu, masyarakat perlu diubah menjadi demokratis. Dalam demokrasi tidak ada pembedaan atau diskriminasi apa pun. Tiap orang adalah citoyen( =warganegara). Dua tahun sebelum Rousseau wafat, prinsip egaliter ini dikutip Deklarasi Kemerdekaan Amerika 4 Juli 1776 berbunyi: “We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal…” lalu pada tahun 1789, sebelas tahun sesudah ia wafat, prinsip ini dipakai sebagai moto Revolusi Perancis: Liberte, Egalite Fraternite! Kalimat dari buku Rousseau juga dikutip dalam deklarasi Hak Asasi Manusia dalam kaitan dengan Revolusi Perancis, yang berbunyi: “… that all men, born equal in the eyes of the law and in opportunity, have rights to liberty, property, security…”

Dalil kedua: tiap orang dilahirkan baik, yaitu “mencerminkan kemuliaan Tuhan” (2 Kor 3:18). Masyarakat (=keluarga, sekolah, gereja, pemerintah dsb). Membuat orang menjadi serakah, dengki, curang dan sebagainya. Sebab itu, masyarakat perlu belajar mendidik.

Tentang kecakapan medidik, Rousseau menulis banyak prinsip yang untuk zaman itu merupakan pandangan yang baru. Contoh: Anak jangan diliindungi dari nyeri dan kecelakaan sejauh itu tidak berbahaya. Sungguh keliru mengabulkan semua permintaan anak. Tolok ukur pendidikan bukan kematangan orang dewasa, melainkan kemampuan anak itu sendiri. Pendidikan diperhitungkan menurut golongan usia. Pendidikan dimulai dengan benda/ contoh yang konkret, bukan dengan gagasan abstrak. Belajar terjadi dengan mengalami. Apa yang bisa ditemukan murid, jangan diterangkan oleh guru. Bersaing bukanlah dengan orang lain, melainkan dengan diri sendiri. Pendidikan hati nurani terjadi melalui simpati pada kelemahan dan penderitaan orang lain.

Khusus tentang pendidikan agama Rousseau menulis prinsip-prinsip sebagai berikut: Konsep yang terlanjur keliru ditanamkan pada anak (mis. Bahwa Tuhan suka menghukum) akan terus melekat sampai usia dewasa. Pelajaran agama yang berisi doktrin akan membuat anak membeo dan kelak membuat ia fanatic. Yang perlu adalah pendidikan religius yang menumbuhkan rasa kagum kepada Tuhan dengan cara mengagumi sekuntum bunga atau seekor kupu-kupu ciptaan Tuhan. Itulah awal yang benar untuk percaya kepada Tuhan. Kalau tidak mampu mendidik agama dengan prinsip yang benar, lebih baik pendidikan agama dihapuskan sampai anak itu sudah bisa berpikir sendiri pada usia sekitar 15 tahun.

Bagi Rousseau, percaya (begitu juga sangsi) adalah perasaan. Tiap kali ia membaca kitab-kitab injil, ia percaya bahwa Yesus adalah Tuhan namun ia sangsi membaca cerita-cerita tentang mujizat. Rousseau menulis: “Ada banyak hal yang tidak kumengerti. Allah hadir di mana-mana, juga dalam diriku. Tetapi setiap kali aku ingin mengetahui siapa Dia, aku tidak melihat apa-apa”.

Banyak tulisan Rousseau merupakan refleksi atas masa lampaunya. Ia mengenang bagaimana ayahnya memperlakukan dia bukan sebagai anak, melainkan sebagai pengganti almarhum istri. Sampai usia 7 tahun Rousseau siang dan malam dipeluki ayahnya sambil membaca buku bersama. Ia tidak boleh bermain dengan teman-teman sebayanya. Tetapi, Rousseau mensyukuri ayahnya. Ia menulis: “Perbuatan ayahku keliru. Tetapi kekeliruannya itu membuat aku sekarang menjadi pengarang yang mengilhami jutaan pembaca”.

Rousseau juga mengenang jasa Madame de Warens Berkat ilmu musik yang diajarkan Madame de Warens, Rousseau menjadi pelopor dan pencipta notasi lagu dengan not angka. “Tetapi, lebih dari itu”, tulisnya, “dalam cinta Madame de Warens, aku merasakan cinta Tuhan”.

Dengan rasa haru Rousseau mengenang anak-anaknya yang tidak dikenalnya. Rousseau dan Therese mendapat lima orang anak, namun tiap kali anak itu lahir Rousseau segera menyerahkan anak itu ke panti asuhan, sebab ia merasa tidak mampu mendidik. Ia menyesali perbuatannya itu.

Selain mengidap penyakit ginjal, kemiskinan juga membuat Rousseau terus menderita sampai akhir hayatnya. Uangnya selalu habis dipakai untuk mengedarkan buku-bukunya. Bersama-sama dengan therese yang terus merawatnya dengan lemah lembut, Rousseau mengembara dan tergantung pada kedermawanan beberapa kawannya. Ia menulis: “Semakin aku percaya, semakin aku jadi bingung; tetapi semakin aku bingung semakin aku mempercayakan diri pada Yesus, manusia biasa yang sungguh luar biasa… dalam hidup yang sekarang aku sudah banyak menderita, masakan dalam hidup yang berikut Tuhan akan menambah penderitaanku?”

ANDAR ISMAIL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar