JANGAN takut! Ah, betapa mudahnya kata-kata ini kita ucapkan, dan betapa seringnya kata-kata ini kita dengar.
Jangan takut! Persediaan beras kita cukup. Kita tak perlu impor dari luar negeri.
Jangan takut! Semua cengkeh akan dibeli, bagaimanapun kualitasnya.
Jangan takut! Fondasi ekonomi kita kokoh dan kuat.
Jangan takut! Itu pula yang begitu banyak kita baca dalam Alkitab. Kepada Abraham, Tuhan berkata, “Janganlah takut, Abraham, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar”. Kepada para gembala di padang Efrata, malaikat berkata, “Jangan takut! Sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa…!” Kepada murid-murid-Nya, Yesus berkata, “Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu".
Jangan takut! Ah, betapa mudahnya kata-kata ini kita ucapkan. Dan betapa seringnya kata-kata ini kita dengar. Namun, mengapa ketakutan itu tak mau pergi-pergi juga?
Jangan takut! Ah, siapa yang tak ingin supaya ia tidak perlu lagi dipeluk rasa takut. Siapa yang dengan sengaja tidak mau berusaha keras untuk menghalaunya pergi jauh-jauh. Tetapi siapa berani bilang bahwa ia tak lagi punya rasa takut?
Apa yang membuat kita takut bisa saja amat berbeda-beda. Apa yang membuat Abraham takut pasti berbeda dengan apa yang membuat kita takut. Apa yang membuat saya takut, pasti tak sama dengan apa yang membuat Anda takut. Tapi ketakutan adalah ketakutan. Ia sama saja bagi semua orang, apa pun alasannya.
Yesus pernah berbicara tentang apa yang pada umumnya membuat orang merasa takut, yaitu, harta dan kekayaan. Benar sekali, bukan? Orang merasa takut, bila tak memiliknya.
Jauh sebelum Yesus dapat membayangkan televisi, video, faksimle, computer, atau mobil jaguar, dia toh mampu menyentuh persoalan manusia yang terdalam. Yaitu, betapa milik kita itu benar-benar dapat memiliki kita! “Di mana ada hartamu, di situ ada hatimu”.
Keinginan untuk mempertahankan apa yang telah kita miliki, dan keinginan yang tak terbendung untuk terus menambah apa yang kita miliki, adalah salah satu sumber ketakutan manusia.
Bagi banyak orang, saat-saat mana dalam sebulan yang paling menakutkan? Bila kita membuat stastik atau grafik, saya kira tak akan jauh meleset apabila kita mengatakan bahwa pertengahan bulan dan akhir bulan adalah saat –saat yang dimana kita harus membayar gaji orang lain, atau di mana kita harus membayar kebutuhan-kebutuhan hidup kita dengan gaji kita.
Apa yang paling menakutkan bila kita mempunyai anak? Saya yakin, pasti bukan kemungkinan terjadinya pernag nuklir. Juga pasti bukan karena tingkat polusi yang semakin tinggi. Namun, misalnya, apakah saya akan cukup mempunyai uang untuk menyekolahkan mereka?
Ketika saya semakin tua, apakah yang paling saya takutkan? Bukan kematian.
Namun apa yang akan terjadi setelah saya tua nanti? Apakah uang pensiun saya cukup? Atau hal-hal seperti itu.
Mungkin saja, jawaban Anda tidak sama dengan jawaban saya.tetapi yang ingin saya katakan adalah, bukan hal-hal yang amat jauh dan amat fundamental yang paling banyak menakutkan kita, melainkan hal-hal yang amat praktis dan amat dekat dengan kenyataan hidup kita sehari-hari.
Namun, toh bukan itulah yang sebenar-benarnya menjadi sumber ketakutan kita. Di balik semua jawaban-jawaban yang praktis dan sederhana itu, ada satu hal yang selalu menakutkan manusia: “ketidakpastian”.
Dalam keadaan sesulit apa pun, manusia tidak takut selama ia mempunyai kepastian. Dan di dalam keadaan objektif yang menyenangkan bagaimanapun, rasa takut akan selalu menggangu hati nurani bila kita tidak mempunyai kepastian.
Menurut sosiologi dan psikologi agama, konon itu pula yang membuat manusia itu beragama. Sebab sekiranya saja manusia mempunyai kepastian dari segala sesuatu yang ada dalam hidupnya, ia tidak akan merasa takut, dan tidak memerlukan agama. Namun kenyataan-kenyataan yang ada dalam hidup tak mampu menjawab semua pertanyaan yang ada dalam hati manusia, dan tak mampu memberi kepastian yang dibutuhkannya. Maka, manusia lalu membuka diri kepada kemungkinan-kemungkinan yang trasendental dan supranatural. Sekedar supaya manusia mempunyai jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Sekedar supaya manusia memperoleh kepastian yang dibutuhkannya.
Menurut Branislaw Malionowsky, ketika manusia mempunyai kepastian, ia akan mengerjakan sesuatu dengan tangannya. Namun, ketika manusia tak mempunyai kepastian, maka ia akan mencarinya melalui doa-doa dan ritus-ritus agamnya.
Tak perlu kita berdebat mengenai salah benarnya teori ini. Cukuplah kita akui bahwa rasa kepastian merupakan factor yang amat utama bagi sekuritas atau rasa aman kita. Ada teman saya yang mempunyai potensi dan kemampuan diri yang luar biasa. Ia juga mempunyai kepribadian yang kuat dan amat mengagumkan. Namun, rupa-rupanya itu hanya berlaku untuk orang lain. Sebaliknya, ia sendiri sering merasa tidak tenteram, tidak aman, dan tidak mampu. Mengapa? Karena ia amat tergantung kepada kepastian. Prinsipnya adalah untuk segala sesuatu selalu mesti ada tujuan yang pasti.
Sulitnya adalah, di mana dalam hidup ini kita dapat memperoleh kepastian mengenai segala sesuatu? Sebab bila begitu, maka hidup ini akan kehilangan dimensi misterinya. Dalam hidup yang tanpa misteri, juga akan kehilangan keindahan dan romantikanya. Ada hal-hal di mana kepastian dapat kita peroleh sebelumnya, atau kita perhitungkan sebelumnya. Namun, ada pula di dalam hidup ini di mana ia hanya mempunyai makna dari keindahan pada dirinya, tanpa mesti punya tujuan lain di luar dirinya. Kita tak akan menikmati keindahan sebuah lukisan apabila yang kita tanyakan adalah apa tujuan si pelukis melukis lukisan itu? Lukisan itulah yang mesti kita nikmati dan kita gali keindahannya, bukan tujuannya yang lain.
Keindahan dan dinamika kehidupan manusia, antara lain juga karena factor risiko yang terkandung di dalamnya. Risiko memang tak perlu dicari-cari, tetapi bila hadir janganlah ia cuma kita hindari. Ia mesti berani kita hadapi. Kita atasi. Namun, yang jelas, hidup tanpa risiko, tak lagi hidup.
Bagi saya, ada yang indah dari pengalaman Abraham. Ia memang sesekali takut. Namun, ia tidak takut hidup dalam ketidakpastian. Sebab itu, ketika Tuhan mengatakan, “Jangan takut!”, tak berarti lalu ketakutan itu serta-merta hilang, hal itu tak membuat Abarham takut melanjutkan perjalanan.
Eka Darmaputera
Seorang orator pejuang hak asasi wanita berbicara dalam sebuah konferensi dan berkata, “Akan ada di mana para pria jiaka tidak ada wanita?”
Ia berhenti sejenak dan kemudian melihat ke seluruh ruangan konferensi.
“Saya ulangi, akan ada di mana para pria jika tak ada wanita?”
Dari belakang ruangan, tercuat suara yang mengatakan, “Ada di Taman Eden sedang makan stroberi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar