Selasa, 02 Juni 2009

KESETIAAN ALLAH

Pada Kejadian 9:16, Tuhan Allah berkata, “ Jika itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal antara Allah dan segala mahluk yang hidup, segala mahluk yang ada di bumi”.


Artinya, selama kita masih bisa melihat pelangi di langit, selama itu pula Tuhan akan mengingat perjanjian-Nya. Itu adalah aspek pertama atau point nomor satu kalau kita berbicara mengenai kesetiaan Allah.


Kesetiaan Allah berarti: Allah setia akan janji-Nya. Allah selalu ingat akan janji-Nya. Setia dan ingat akan janji-Nya berarti: Ia adalah Allah yang selalu tepat janji. Orang yang tepat janji berarti orang yang dapat dipercayai.


Ini yang paling membuat frustasi orang-orang asing yang bekerja di Indonesia. Pada suatu ketika saya duduk bersebelahan dengan seorang korea dalam penerbangan dari Seoul ke Jakarta. Ia sudah 6 tahun bekerja di Indonesia. Orang Kristen yang hebat. Dia selalu menyisihkan 20 juta sebulan untuk membantu gereja-gereja di Indonesia. Dia tidak minta apa-apa, kecuali satu: minta didoakan. Tetapi ketika saya bertanya, apa kesannya selama 6 tahun bekerja di Indonesia, dengan muka marah ia berkata: “Selama orang Indonesia tidak bisa memegang janji, Indonesia tidak akan pernah maju!” “Coba bayangkan, “katanya, “ dari yang kecil: janji ketemu jam 09.00, jam 10.30 baru muncul. Padahal coba bayangkan apa yang dapat saya kerjakan dalam waktu 1 ½ jam itu! Sampai hal yang paling tabu dalam berdagang: janji kirim barang sekian, namun tanpa kabar barang tidak datang!”.


Bukan orang Indonesia! Kalau ada barang yang paling sulit diperoleh di dunia sekarang ini, maka itu adalah kesetiaan! Loyalitas! Tidak ada loyalitas pegawai perusahaannya. Diimingi-imingi gaji lebih besar oleh perusahaan lain, langsung pindah ke tempat itu. Dan sebaliknya juga tidak ada loyalitas perusahaan kepada pegawainya. Saya tahu ada beberapa perusahaan yang kalau pegawainya sudah bekerja lama sedikit malah dikeluarkan, lebih suka pegawai baru yang bayarannya murah.


Tidak ada kesetiaan antara suami-istri. Saya sudah menjadi pendeta hamper 29 tahun. Kalau Anda Tanya persoalan pastoral apa yang paling banyak selama 10 tahun terakhir – maka jawab saya adalah persoalan rumah-tangga. Tidak setia!.


Apalagi antara sahabat. Saya masih ingat pada waktu Presiden Nixon memutuskan hubungan dengan Taiwan karena mau mengikat hubungan diplomatic dengan RRC. Apa katanya? Tidak ada kawan abadi, sebab yang abadi itu Cuma kepentingan. There is no permanent friend, there is only permanent interest. Artinya, sahabat sebaik apa pun, kalau tidak menguntungkan, ditendang saja!.


Juga tidak ada kesetiaan orang Kristen kepada gereja-Nya. Sedih sekali melihat kekristenan sekarang ini. Begitu mudah orang tidak puas di satu gereja, lalu pindah ke gereja lain, seperti belanja dari satu toko ke toko lain. Dan yang lebih celaka, sering bukan isinya yang paling menarik dan tidak banyak peraturan. Tidak ada kesetiaan.


Kita dapat melihat dengan jelas kesetiaan Tuhan itu kalau kita kontraskan dengan ketidakkesetiaan manusia. Seperti kalau Anda melihat film negatif yang hitam dan gelap, gambarnya akan lebih jelas kalau kita perhadapkan pada lampu yang terang.


Mari kita kembali pada Kejadian 9. ceritanya adalah pada zaman Nuh, setelah Tuhan marah atas dosa-dosa manusia dan begitu marahnya sehingga Ia menghukum manusia dengan banjir besar. Habis semuanya, tinggal yang ada di bahtera Nuh. Setelah air banjir itu surut, semua yang di bahtera sudah keluar. Allah membuat janji. “… tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi”.


Apa Allah menepati janji-Nya? Ya! Padahal kalau kita pikir, kejahatan manusia pada zaman Nabi Nuh dibandingkan dengan kejahatan manusia sekarang ini, tidak ada apa-apanya. Cuma secuil. Jadi sebenarnya, kalau zaman itu manusia dihukum dengan banjir besar, sekarang ini sebenarnya manusia sudah pantas dihukum dengan banjir yang 10 atau mungkin 100 kali lebih besar! Tetapi mengapa tidak? Bukan karena Tuhan sudah lebih toleran terhadap dosa manusia! O, tidak! Suatu saat semua ini harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Satu-satunya alasan mengapa Tuhan tidak mendatangkan hukuman seperti pada zaman Nabi Nuh adalah: karena Tuhan setia pada janji-Nya.


Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk menyatakan kesetiaan-Nya. Tuhan juga lupa akan janji-Nya. Kalau kita mulai punya perasaan begini, hati-hatilah! Bahaya sedang mengintip Anda! Mengapa? Sebab kalau kita sudah mulai meragukan kesetiaan Allah, itu berarti kita mulai meragukan kebenaran firman Allah, kita akan mulai berpaling kepada yang lain. Dan kalau kita mulai berpaling kepada yang lain, biasanya kita akan lebih tertarik kepada yang lain itu.


Dan iblis masuk! Iblis itu bagi manusia selalu jauh lebih menarik daripada Allah. Mengapa? (1) Tuhan hanya memberikan apa yang kita butuhkan, sementara iblis memberikan apa yang kita inginkan. Kalau Tuhan mengatakan, “Pergilah ke gereja, berdoa, baca dan pelajari Alkitab, karena itu perlu untuk jiwamu”, maka iblis berkata, “Untuk apa ke gereja, bikin ngantuk!. Ke Puncak lebih seru! Untuk apa berdoa – toh enggak didengar. Ke dukun saja!” (2) iblis lebih menarik, karena selalu menjanjikan kemudahan. “Kamu mau seluruh kerajaan dunia ini dengan segala kemegahannya? Gampang. Padahal Yesus mengatakan, kita harus pikul salib. Tetapi saya minta Anda harus hati-hati justru karena ‘gampang’nya ini. Saya mau mengumpamakan iblis ini seperti tukang kredit yang amat lihai. Amat menarik dan amat gampang. Ingin apa pun bisa - tinggal ambil, bayar down-payment tidak seberapa. Dan banyak orang jatuh di sini. Karena caranya gampang. Awalnya gampang, tetapi tagihannya mengikat leher.


Bukankah itu yang terjadi di Taman Eden? Perempuan itu tahu betul apa firman Allah. Buah itu jangan kau makan! Mestinya cukup itu! Tetapi ketika manusia tidak merasa cukup mendengar dari Tuhan saja, ketika ia mulai membuka telinganya untuk mendengar iblis, maka makin jauh dia dari Tuhan. Mula-mula ia masih membela Tuhan (lihat Kej. 3:2). Lama-lama ia mulai ragu siapa yang betul: Tuhan atau ular? Mana yang betul: pendeta atau dukun? Alkitab atau omongan si A ata si B? kalau sudah mulai ragu begini, langkah berikut adalah: mulai memperhatikan buah terlarang itu. Kelihatannya buah itu baik untuk dimakan. Sepertinya tidak terjadi apa-apa kalau saya memetiknya. Buah itu sungguh menarik! Ini berarti tinggal selangkah lagi dari mengambil buah itu dan memakannya. Awalnya adalah ragu-ragu, laLu mulai mempertanyakan kesetiaan Allah.


Untuk terus berpegang kepada kesetiaan Allah akan janji-Nya memang amat sulit. Apa sebabnya? Dalam 2 Petrus 3:8 dikatakan, “Akan tetapi, saudara-saudaraku yang kekasih, yang satu ini tidak boleh kamu lupakan, yaitu bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun, dan seribu tahun sama seperti satu hari”. Artinya, jalan Tuhan dan waktu Tuhan itu amat berbeda dengan jalan dan waktu kita.


2 Petrus 3:9 dengan sangat indahnya mengatakan, “Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian…”


Sering kita merasa bahwa Tuhan sudah punya jadwal sendiri untuk menepati janji-Nya. Ini yang sering tidak bisa kita mengerti dan membuat kita tidak sabar. Kita berpikir, bahwa Tuhan, kalaupun tidak ingkar, sudah lupa akan janji-Nya.


Percaya sungguh-sungguh bahwa Tuhan itu setia kepada janji-Nya itulah yang memberi kekuatan kepada orang-orang percaya. Ibrani 11 menceritakan teladan iman para tokoh Alkitab. Mereka tidak hidup senang. Malahan, Musa misalnya, menolak kesenangan yang diberikan oleh dunia ini. Ibrani 11:13 mengatakan, bahwa sampai mati mereka tidak menikmati janji Allah. “Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai kepadanya…. “ Namun demikian, sampai mati mereka tetap setia kepada Allah. Mengapa? Karena mereka percaya betul, bahwa Allah pasti akan menepati janji! Kalau tidak sekarang , ya nanti. Kalau tidak hari ini, besok. Kalau tidak besok, lusa. Kalau tidak pada generasiku, ya generasi anak-anakku atau cucu-cucuku. Tetapi pasti!


Tuhan tidak menjanjikan yang menarik. Tetapi Ia menjanjikan satu hal yang amat penting: kesetiaan. Dan Ia juga minta satu hal dari kita: kesetiaan. Barangsiapa yang setia sampai akhir, baginyalah mahkokta kehidupan dan mahkota kemenangan yang tidak akan layu!


EKA DARMAPUTERA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar