juga mengendalikan seluruh tubuhnya” (Yakobus 3:2)
komunikasi merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan keluarga. Keluarga yang hancur biasanya diawali dengan komunikasi yang tidak sehat, apakah antara suami-isteri, ortu dan anak. Setiap kali bicara pasti berujung dengan pertengkaran. Lama-lama bisa terjadi perang dingin, tidak ada komunikasi. Sebuah negara akan hancur jika hubungan komunikasinya dihancurkan. Demikian juga di dalam keluarga. Wanita, menyadari pentingnya komunikasi, mari kita belajar untuk bijak dalam bertutur. Friman Tuhan mengajarkan kita untuk menjadi orang yang ”sempurna” yang belajar mengendalikan lidahnya.
Pertama, berpikir sebelum berbicara: ”Hati orang benar menimbang-nimbang jawabanya...” (Ams 15:28). Ada banyak persoalan dapat dihindari jika kita berhati-hati dalam berbicara atau memberi jawaban: ”Kaulihat orang yang cepat dengan kata-katanya; harapan lebih banyak bagi orang bebal daripada bagi orang itu” (Ams 29:20). Memang ada orang-orang dengan temperamen tertentu, misal: Sanguin yang memiliki kecenderungan untuk cepat berkata-kata sebelum berpikir, misal: Petrus. Waktu tengah malam, melihat Yesus berjalan di atas air dan ia berseru: ”Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air” (Mat 14:28). Setelah Yesus menyuruhnya datang, Petrus langsung turun dari perahu dan berjalan di atas air. Tidak lama kemudian, ketika merasakan tiupan angin, ia mulai takut dan tenggelam. Dalam kesempatan lain, ketika Yesus berkata, bahwa Ia akan menanggung banyak penderitaan lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga, Petrus tanpa banyak berpikir, menarik Yesus kesamping dan menegur-Nya: ”Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa engkau” (Mat 16:22). Yesus langsung menghardiknya: ”Enyahlah iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Mat 16:23).
Wanita, berapa sering perkataan yang kita keluarkan atau jawaban yang kita berikan, setelah beberapa saat kemudian kita sesali. Mari kita sama-sama belajar lebih bijak, sebelum berbicara atau memberikan pendapat kepada seseorang. Apakah perkataan, jawaban atau pendapat kita akan menyakitkan? Menimbulkan kemarahan atau menjatuhkan semangat seseorang? Jika jawabannya, ”ya”, lebih baik jangan kita ucapkan, apakah itu kepada suami, anak-anak, atau pun orang-orang di sekitar kita.
Kedua, berbicara tepat pada waktunya: ”... alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya... perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak” (Amsal 15:23b; 25:11). Jika sudah memikirkan dampaknya sebelum mengatakannya, maka kita juga harus mempertimbangkan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Misal, waktu suami pulang kerja, lelah dan penat, bukanlah waktu yang tepat untuk para istri mencurahkan isi hatinya seputar rumah tangga, kenakalan anak, dll. Setiap rumah tangga memiliki keunikan masing-masing karena suami dan anak-anak kita, termasuk diri kita sendiri adalah pribadi yang unik. Dulu, memasuki tahun pertama pernikahan, saya berdiskusi mengenai keuangan pada malam hari sebelum tidur. Saya berpikir, suami sudah rileks dan sudah tidak penat. Saya pun sudah mempersiapkan kata-kata yang baik sebelum mendiskusikannya. Namun, diluar dugaan, suami meresponi dengan ketus dan tidak bersemangat. Saya merasa tidak ada yang salah dan mulai protes mengapa suami memberi jawaban yang tidak enak. Perbedaan pendapat di malam hari tidak dapat dielakkan hanya karena masalah kecil. Untunglah, segera dapat diselesaikan dan suami memberi masukan, bahwa kalau sudah ada di tempat tidur, jangan berbicara masalah uang. Sejak saat itu saya berupaya mengingatkan diri saya sendiri untuk tidak mendiskusikan masalah yang ada hubungannya dengan uang menjelang tidur.
Wanita, perkataan kita tidak hanya harus benar, tapi juga harus diucapkan tepat pada waktunya. Perkataan Abigail yang bijaksana dan tepat waktu telah berhasil menyurutkan kemarahan Daud dan membatalkan hutang darah yang akan dilakukan Daud dan para tentaranya terhadap Nabal, suami Abigail dan setiap laki-laki yang tinggal bersamanya (1 Samuel 25:33-34).
Ketiga, belajarlah mendengar, jangan menguasai pembicaraan: ”Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (Amsal 18:13). Tanpa sadar, sering sebagai isteri atau ibu kita tidak mau mendengar pendapat suami, apalagi anak-anak kita. Tidak jarang wanita sebagai isteri, ibu atau mertua yang menguasai pembicaraan, tidak mau mendengar, bahkan memotong pembicaraan seenaknya. Seharusnya kita intropeksi jika suami atau anak-anak kita malas atau menghindar berbicara dengan kita. Jika tidak dituruti kemauannya, marah dan suka bertengkar. Salomo menggambarkan penderitaan serumah dengan wanita seperti itu sehingga lebih baik baginya tinggal pada sudut sotoh rumah (Ams 21:9). Isteri atau ibu yang cerewet dan banyak menuntut serta marah-marah digambarkan seperti tiris yang tidak henti-hentinya menitik pada waktu hujan (Ams 27:15).
Wanita, saya yakin setiap wanita merindukan ”Happy Family”. Mulailah menghidupkan dan membangun keluargamu dengan bijak bertutur. ”Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya” (Amsal 18:21). Marilah berdoa bersama saya: ”Tuhan, taruhlah kekang pada mulutku sehingga aku tidak berdosa dengan lidahku, Amin” (Mazmur 39:1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar